Dari Dana BOS ke Pungli, Jejak Liar SDN 2 Payung Batu

Dinar Ekspose, Lampung Tengah— Di sebuah sekolah dasar negeri yang terletak di kawasan Payung Batu Kecamatan Pubian, anak-anak yang pada saat itu baru saja menuntaskan semester mereka. Di antara deretan kursi plastik dan tumpukan map rapor, bukan senyum yang menyambut para orangtua melainkan kewajiban: Rp150 ribu per kepala.

Jumlah yang mungkin tampak kecil bagi sebagian kalangan elite, namun terasa menghantam keras bagi sebagian besar keluarga di kampung ini. Dan ironisnya, kewajiban itu datang dari tempat yang semestinya menjadi pelindung nilai: sekolah.

Sumber Dinar Ekspose menyebutkan, pungutan dilakukan serentak saat pembagian rapor. Tak ada sosialisasi. Tak ada rapat komite. Tak ada musyawarah mufakat. Hanya satu kalimat yang menggantung di langit-langit ruangan kelas:

“Rp150 ribu ya, untuk dana pembangunan sekolah.”

Bagi orangtua yang tak mampu, pilihan menjadi sesempit lorong gelap bayar atau pulang tanpa membawa rapor. Anak-anak pun ikut jadi korban bukan karena nilai merah, tapi karena orangtuanya telat menyetor.

“Ada rasa malu, Pak… Anaknya kalau lihat teman-temannya sudah pegang rapor, dia belum. Padahal bukan salah dia, jadi ya pada saat itu kami berusaha untuk mencukupinya. ujar seorang ibu rumah tangga, menunduk, menyeka matanya.

Dari total 142 siswa, jika semua menyetor, maka dana yang masuk ke kantong tak resmi sekolah bisa mencapai Rp21.300.000. Jumlah yang tak main-main. Bahkan mungkin melebihi anggaran pembangunan fasilitas desa.

Apa yang membuat kisah ini semakin getir adalah kenyataan bahwa SDN 2 Payung Batu menerima dana BOS sekitar Rp127 juta setiap tahun. Angka yang, jika dikelola dengan transparan dan benar, seharusnya mampu menutup kebutuhan dasar dan bahkan mendanai perbaikan sarana.

Namun entah kenapa, Rp127 juta dari negara itu belum cukup. Mungkin karena uang yang datang dari langit tak memberi kepuasan sebesar uang yang datang dari tangan wali murid yang pasrah.

Pertanyaannya: ke mana larinya dana BOS? Mengapa harus menyandera rapor siswa hanya demi pungutan?

Tembok sekolah itu diam, tapi saksi. Ia menyaksikan anak-anak yang pulang membawa beban moral karena orangtuanya tak mampu. Ia menyaksikan bagaimana birokrasi pendidikan menjelma jadi mesin pemungut yang rakus dalam diam.

Sekolah, seharusnya tempat anak belajar tentang kejujuran dan tanggung jawab. Tapi bagaimana jika justru yang memberi contoh adalah pemimpin yang memelintir aturan demi kepentingan pribadi?

Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 secara jelas melarang pungutan yang bersifat wajib di sekolah negeri. Tapi rupanya, regulasi hanyalah tulisan yang tak berarti ketika moral sudah runtuh.

Figur kepala sekolah adalah ujung tombak pendidikan. Dialah yang seharusnya berdiri paling depan membela murid dari segala bentuk beban yang tak perlu. Tapi ketika kepala sekolah menjelma menjadi ‘bendahara tak resmi’, maka sekolah pun kehilangan jiwanya.

Di ujung kisah ini, satu ironi tersisa. Ketika masyarakat diminta untuk tidak melakukan pungli, justru lembaga pendidikan yang mengajarkan pungutan sejak dini dengan kemasan “pembangunan”

Sampai berita ini dilansir, belum ada klarifikasi dari pihak SDN 2 Payung Batu. Kepala sekolah bungkam. Dinas pendidikan belum bersuara. (RED)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan