Metro — Dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada anggaran perjalanan dinas biasa milik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota
Metro tahun 2024 sebesar Rp. 13,6 Milyar, masuk babak baru. Pasalnya Koalisi Jurnalis dan Aktivis (Kojak) Provinsi Lampung akan segera melaporkan dugaan KKN tersebut ke Kejaksaan Negeri Kota Metro.
Menurut Ketua Kojak Lampung, Hanzon, sebelumnya mereka sudah menyampaikan surat konfirmasi dan klarifikasi resmi kepada Sekretariat DPRD Kota Metro. Tetapi, langkah itu tidak mendapatkan jawaban apa pun dari sekretaris DPRD setempat, yang terkesan memilih diam dan buang badan.
Hanzon melihat bahwa langkah diam tanpa memberikan klarifikasi yang dilakukan oleh Sekretariat DPRD Kota Metro dapat diartikan sebagai sinyal jelas bahwa dugaan persoalan tersebut adalah sesuatu yang serius dan memang perlu dilakukan pemeriksaan oleh Aparat Penegak Hukum.
Oleh karenanya, terus Hanzon, pihaknya akan mengatur waktu untuk melaporkan dugaan KKN anggaran Perjalan Dinas Biasa tahun 2024 tersebut Ke Kejaksaan Negeri Kota Metro.
“Kita akan lihat bagaimana hasilnya nanti, namun yang pasti langkah diam dari pihak Sekretaris DPRD Metro tentu mengundang banyak pertanya yang harus terjawab, ” Ujarnya.
Perlu diketahui sebelumnya bahwa pada tahun 2024, DPRD Kota Metro Menghabiskan Angggaran sebesar Rp. 13,6 M untuk beberapa kegiatan perjalan dinas biasa, diantaranya Pengawasan Urusan Pemerintahan Bidang Kesejahteraan Rakyat Rp3.287.093.000, Pengawasan Urusan Pemerintahan Bidang Perekonomian Rp3.098.576.000, Pengawasan Urusan Pemerintahan Bidang Pemerintahan & Hukum Rp2.833.223.000, Fasilitasi Pelaksanaan Tugas Badan Musyawarah Rp888.886.000, Koordinasi dan Konsultasi Pelaksanaan Tugas DPRD Rp888.614.000, Penyelenggaraan Rapat Koordinasi dan Konsultasi SKPD KLDi Rp521.383.000, Penyusunan & Pembahasan Program Pembentukan Peraturan Daerah Rp424.859.000, Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Rp390.310.000, Pembahasan KUA dan PPAS Rp290.098.000, Pengawasan Kode Etik DPRD Rp260.622.000,Pembahasan APBD Rp249.508.000,Pembahasan Perubahan KUA dan Perubahan PPAS Rp247.366.000,Pembahasan Pertanggungjawaban APBD Rp166.102.000,Kunjungan Kerja Dalam Daerah Rp151.572.000.
Dimana dari keterangan narasumber mengungkapkan bahwa anggaran yang cukup fantastis yang di habiskan untuk kegiatan perjalanan dinas biasa tersebut sangat rawan untuk di korupsi.
Hal tersebut disebabkan karena sistem pengawasan yang lemah, kurangnya transparansi, dan adanya celah untuk memanipulasi laporan pertanggungjawaban.
Selain itu, sumber juga mengungkapkan bahwa indikasi dugaan Mark-Up yang sudah dilakukan sejak awal penganggaran. Sebab jika melihat pada per peraturan Walikota Metro mengenai biaya perjalanan dinas, Besaran satuan biaya Perjalanan Dinas dalam Kota ditetapkan sebesar Rp 575.000 per orang, dengan rincian biaya untuk Uang harian Rp 100.000, Uang representasi Rp 75.000, Bantuan transport Rp 50.000 dan Uang penginapan: Rp 350.000. Sedangkan untuk biaya Perjalanan Dinas luar Kabupaten Kota sebesar Rp 1.025.000 per orang, dengan rincian biaya untuk Uang harian sebesar Rp 400.000, Uang representasi Rp 75.000, Bantuan transport Rp 200.000, dan Uang penginapan sebesar Rp 350.000.
“Apabila merujuk pada peraturan tersebut maka akan sangat dapat terlihat jika anggaran yang dihabiskan tidak akan mencapai diangka Rp. 13.6 Milyar, namun karena sejak awal diduga hal ini di Mark-Up sehingga angkanya sampai sebesar itu” Ungkapnya.
“Belum lagi jika melihat Berdasarkan Standar Biaya Masukan (SBM) 2024, semua perjalanan dinas punya batas tarif. Tidak boleh lebih. Tapi hasil investigasi menunjukkan, di Metro aturan itu seolah hanya formalitas. Tarif penginapan dan transportasi bisa melambung, bahkan menyalip harga resmi tanpa rasa bersalah, ” Lanjut sumber.
sumber menyebutkan, jika dibandingkan SBM, angka di laporan tersebut bisa bikin geleng-geleng. Mahal sekali, entah menginap di hotel atau istana.
Ada pula perjalanan dinas yang tidak sepenuhnya dilengkapi dokumen pertanggungjawaban, seperti tiket maupun daftar hadir. Walaupun begitu, laporan pencairan tetap menunjukkan dana terserap penuh.
Padahal, PMK No. 119 Tahun 2023 mewajibkan semua perjalanan berbasis at cost alias harus ada bukti sah. Jika tidak ada bukti, seharusnya tidak ada pembayaran.
Selain itu, Ia menegaskan jika publik wajar curiga karena pola mark-up dan fiktifitas perjalanan dinas sering kali muncul dari pos semacam ini.
“Bayangkan, mengawasi kesejahteraan rakyat saja bisa habis Rp3,2 miliar lebih. Kalau dana itu dipakai untuk beasiswa, bantuan UMKM, atau memperbaiki jalan lingkungan, hasilnya jelas nyata. Tapi rakyat malah disuguhi angka-angka fiktif,” ujarnya.
Ia menambahkan, dampak sosialnya sangat besar. Penjual sayur di pasar, petani di desa, hingga pengusaha kecil yang pontang-panting membayar pajak, semuanya ikut menanggung beban. Mereka tidak pernah ikut rapat atau perjalanan dinas, namun keringat mereka dipakai membiayai anggaran pengawasan yang janggal ini.
“Kami sangat mengharapkan APH untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan KKN yang terjadi, ” Harapnya. (Redaksi)

