Niat Baik yang Salah Alamat, Stabilitas Kota Bandar Lampung yang Berbau Limbah Lindi

Penulis : Andri Trisko, S.H.,M.H / Ketua DPW PGK Lampung

Dinar Ekspose, Balam—Bandar Lampung mungkin tak pernah kehabisan alasan untuk berwangi di atas luka. Satu kebijakan lahir dikemas dengan kata-kata yang amat indah. Niat baik, kerja sama, transparansi, dan stabilitas. Dan di bawah payung kata-kata itu, uang rakyat sebesar Rp60 miliar mengalir begitu saja, demi satu proyek yang disebut “untuk memperkuat penegakan hukum”.

“Hemat saya, bantuan itu bukan untuk pribadi siapa pun, tapi untuk lembaga penegak hukum yang selama ini menjaga stabilitas kota,” begitu narasi cantiknya terdengar.

Namun sejak kapan stabilitas kota bergantung pada megahnya gedung kejaksaan? Apakah hukum akan lebih tegak karena gedung tinggi dan catnya yang baru, atau karena nuraninya belum lekang?

Rakyat mungkin tidak paham mekanisme hibah, tapi mereka paham tentang keadilan. Dan mereka tahu, gedung baru tak akan menghapus bau busuk limbah yang terus mengalir dari TPA Bakung ke sungai yang sehari-hari mereka gunakan.

Hibah itu disebut sebagai bentuk sinergi antara pemerintah daerah dan aparat penegak hukum, agar pelayanan publik lebih transparan dan profesional. Kata yang bagus, transparansi. Namun ironisnya, rakyat baru mendengar kabar hibah itu setelah tanda tangan selesai, setelah anggaran cair, dan setelah opini publik keburu meledak.

Transparansi macam apa yang lahir dari ruang tertutup?

Kerja sama macam apa yang dilakukan tanpa menanyakan apa mau rakyat dalam pembahasannya?

Jika benar niatnya memperkuat penegakan hukum, bukankah lebih bijak bila dana sebesar itu digunakan untuk memperkuat pengawasan terhadap korupsi bukan mempercantik kantor lembaganya?

Keadilan tak butuh ruangan baru. Ia butuh keberanian baru, keberanian untuk tidak tunduk pada kepentingan.

Di sudut lain kota, berdiri dinding penahan sampah di TPA Bakung proyek senilai Rp5 miliar yang kini meliuk-liuk seperti ular , retak yang mungkin tidak lama lagi akan roboh. Barangkali bukan hanya strukturnya yang goyah, tapi juga logika kebijakan publiknya.

Dinding untuk rakyat nilainya Rp5 miliar hasilnya retak.

Gedung untuk lembaga vertikal nilainya Rp60 miliar disebut investasi masa depan. Jika keadilan masih punya rumah di kota ini, mungkin ia sedang duduk di reruntuhan beton, memandangi ironi sambil menutup hidung dari bau lindi.

“Beliau adalah seorang perempuan, seorang ibu yang matang dalam mengambil kebijakan.” Kalimat itu kini kerap diulang oleh banyak media berplat merah seolah keibuan adalah tameng dari segala kritik.

Benar, beliau seorang ibu. Tapi rakyat pun anak-anak dari kebijakan yang ia lahirkan. Dan setiap ibu yang bijak tahu, kasih bukan diukur dari seberapa besar pemberian, tapi seberapa adil ia membaginya.

Jika puluhan miliar disalurkan kepada lembaga yang bergelimang anggaran, sementara warga Bakung masih hidup dalam bau dan air racun, apakah itu masih bisa disebut keibuan?

Sabar menghadapi kritik memang mulia. Namun sabar terhadap kritik bukan pembenaran atas keputusan yang salah arah. Dalam politik, kata “sabar” sering kali hanya cara halus untuk berkata “ saya tidak peduli! “

Keadilan tak pernah memerlukan atap tinggi dan cat mengilap. Ia hanya butuh pemimpin yang mampu menempatkan rakyat di tempat pertama bukan hanya di baris catatan kaki footnote anggaran semata.

Sementara warga terus bergelut dengan bau busuk dan air hitam, pejabatnya sibuk mencitrakan kerja sama antar lembaga. Kota ini tidak sedang butuh kerja sama antar penegak hukum. Kota ini sedang butuh kerja sama antara nurani dan logika. Niat baik memang indah, tapi tanpa arah yang benar, ia hanya menjadi pembenaran moral bagi keputusan yang keliru.

Sejarah tak akan menilai dari seberapa kuat seseorang menahan fitnah, tapi seberapa berani ia menahan diri dari kekeliruan. Rakyat tidak butuh gedung megah mereka butuh air bersih.

Rakyat tidak minta cat baru di kantor hukum mereka minta air tanpa racun.

Dan jika masih ada yang menganggap hibah Rp60 miliar itu sebagai bentuk kebaikan, barangkali mereka lupa.

Kadang, niat baik pun bisa berubah menjadi dosa ketika ia jatuh di alamat yang salah.

Tinggalkan Balasan