Dinar Ekspose, Lampung — Setiap pemerintahan mewarisi cerita. Ada yang tertulis dalam dokumen Rencana Kerja, ada yang tersimpan dalam kode-kode rekening belanja, dan ada pula yang hidup dalam suara-suara yang datang dari ruang sidang, rapat anggaran, hingga obrolan-obrolan jenaka di warung kopi.
Di awal masa kepemimpinannya, Gubernur Rahmat Mirzani Djausal tak sekadar diwarisi jabatan. Ia juga mewarisi lembaran-lembaran anggaran yang telah disusun jauh sebelum ia duduk di kursi utama Mahan Agung. Salah satu lembaran itu kini jadi sorotan: alokasi belanja untuk tenaga ahli yang nilainya nyaris menembus angka Rp18 miliar.
Sebagian orang menyebut ini “beban warisan.” Sebagian lain menyebutnya “bom waktu yang dititip.” Tapi di balik semua itu, pemerintah memilih satu kata: ditata.
“Tidak semua yang diturunkan dari periode sebelumnya harus ditolak. Tapi tidak semua pula bisa diteruskan begitu saja,” ujar seorang pejabat senior di lingkungan Pemprov Lampung. Suaranya tenang, tapi nadanya menyimpan isyarat, ada banyak hal yang kini tengah dirapikan.
Tenaga ahli, dalam beberapa konteks, memang dibutuhkan. Mereka hadir sebagai penguat teknis, sebagai penggerak pemikiran strategis, bahkan kadang sebagai pengisi celah-celah yang belum bisa dijangkau oleh sistem birokrasi. Namun, dalam era efisiensi dan transparansi, kehadiran mereka harus menjawab satu pertanyaan mendasar: seberapa besar manfaat yang benar-benar dirasakan masyarakat?
Pemerintah Provinsi Lampung kini menjadikan pertanyaan itu sebagai titik tolak. Evaluasi menyeluruh dilakukan. Komposisi anggaran ditelaah ulang, Semangat efisiensi yang tercantum dalam Instruksi Presiden maupun Instruksi Gubernur Nomor 1 Tahun 2025 dijadikan panduan dalam memilah mana yang esensial dan mana yang bisa dikurangi.
“Gubernur ingin agar belanja kita tidak hanya habis, tapi terasa. Tidak hanya terserap, tapi berdampak,” kata pejabat itu lagi.
Di balik meja-meja kerja, para staf mulai menyisir data. OPD diminta mengidentifikasi SDM internal yang bisa diberdayakan. PNS yang selama ini berada di posisi administratif mulai ditantang untuk naik kelas, menjadi penyusun strategi, bukan hanya pelaksana teknis. Ini bukan soal penghematan semata, tapi soal kemandirian dan peningkatan kapasitas.
Sebagian publik mungkin masih menaruh curiga. Wajar. Karena kepercayaan memang tak lahir dari janji, melainkan dari proses yang terlihat dan hasil yang terasa. Tapi satu hal yang kini mulai tampak, Pemerintah Provinsi Lampung memilih untuk tidak menutup mata. Warisan anggaran yang sempat menjadi ganjalan mulai disorot, dibuka, dan ditata ulang.
Di tengah suara-suara yang menyamakan belanja tenaga ahli dengan investasi bodong, Pemprov menjawab dengan satu langkah: transparansi. Karena dalam dunia investasi, sebagaimana dalam dunia pemerintahan, hal yang paling penting bukan janji manisnya, tapi bagaimana kejelasan, akuntabilitas, dan keamanannya.
Dan mungkin, inilah masa ketika anggaran yang lahir di musim kemarin sedang dicuci bersih untuk bisa layak pakai di musim yang baru. Musim yang ingin membawa Lampung lebih maju, tanpa kehilangan pijakan. (Redaksi)