BreakingNews
2 Jul 2025, Rab

Proyek Gedung Nuklir RSUDAM Bermasalah, BPK Temukan Potensi Kerugian Rp1,2 Miliar Lebih

Dinar Ekspose, Bandar Lampung–Gedung Instalasi Kedokteran Nuklir di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Lampung, yang baru saja diresmikan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal pada akhir Maret 2025, ternyata menyisakan persoalan serius. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap adanya potensi kerugian daerah miliaran rupiah dari proyek ini.

Berdasarkan audit BPK, ditemukan kelebihan pembayaran akibat kekurangan volume pekerjaan jasa konstruksi senilai Rp896.867.485,74. Selain itu, terdapat potensi kekurangan penerimaan dari denda keterlambatan pekerjaan yang mencapai Rp370.185.534,39. Bila dijumlahkan, potensi kerugian daerah akibat pembangunan gedung kedokteran nuklir ini mencapai Rp1.267.053.020,13.

Persoalan RSUDAM tak berhenti di situ. Dalam Rapat Paripurna DPRD Lampung pada Selasa (17/6/2025), Juru Bicara Panitia Khusus (Pansus) LHP BPK, Budhi Condrowati, mengungkap sejumlah temuan tambahan.

Di antaranya, kelebihan pembayaran pada realisasi belanja gaji dan tunjangan PNS yang belum disetorkan kembali ke kas daerah sebesar Rp17.704.200. Selain itu, terdapat kesalahan klasifikasi anggaran belanja: dana sebesar Rp9,24 miliar yang seharusnya masuk dalam belanja modal untuk menghasilkan aset tetap, justru dialokasikan sebagai belanja barang dan jasa.

Masalah lainnya muncul dari pembangunan ruang CATHLAB, yang juga mengalami kelebihan pembayaran akibat volume dan spesifikasi yang tidak sesuai. Nilainya mencapai Rp69.438.687.

Pansus juga menyoroti buruknya pengelolaan persediaan barang di lingkungan RSUDAM. Proses pencatatan mutasi keluar-masuk barang tidak dilakukan secara menyeluruh oleh pengurus barang dan petugas gudang, membuka celah terhadap potensi penyimpangan.

Menanggapi temuan-temuan ini, Pansus LHP BPK merekomendasikan agar manajemen RSUDAM segera melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola keuangan dan aset. Fokus utama adalah pembenahan sistem penganggaran, klasifikasi belanja, serta pengawasan fisik proyek konstruksi.

“Perlu penguatan fungsi Satuan Pengawas Internal (SPI), optimalisasi sistem e-logistik, dan pemberian sanksi tegas kepada rekanan yang wanprestasi. Jika tidak, temuan-temuan ini berpotensi masuk ke ranah pidana korupsi karena menyangkut kelalaian dalam pengelolaan dana publik sektor kesehatan,” tegas Condrowati. (Tim)